hypedistrict.id – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan kebijakan baru yang memasukkan sejumlah aktivitas olahraga ke dalam daftar Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 yang akan mulai berlaku sejak 20 Maret 2025.
Detail Kebijakan dan Dampaknya
Kebijakan pajak ini merupakan revisi kedua dari keputusan sebelumnya, yaitu Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024. Meskipun terdiri dari hanya dua pasal, kebijakan ini diharapkan mampu memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan sektor olahraga rekreatif di Jakarta.
Pengelola fasilitas olahraga diharuskan untuk memungut pajak dari setiap pengguna jasa, yang harus disetorkan ke kas daerah. Ini mencakup berbagai bentuk layanan seperti tiket masuk, sewa lapangan, dan sistem keanggotaan.
Besaran tarif pajak yang ditetapkan merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024, dengan jasa hiburan dikenakan pajak sebesar 10%. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 53 ayat 1 Perda, yang menjadikan aktivitas olahraga dan hiburan sebagai objek pajak resmi.
Daftar Fasilitas Olahraga yang Terkena Pajak
Keputusan Kepala Bapenda terbaru ini mencakup sejumlah fasilitas olahraga yang resmi menjadi objek pajak. Tercatat ada 21 jenis tempat olahraga di Jakarta yang diakui sebagai objek pajak, menjadikannya potensi sumber pendapatan bagi pemerintah daerah.
Fasilitas yang termasuk dalam kategori ini antara lain tempat kebugaran, lapangan futsal, kolam renang, tempat berkuda, hingga wahana jetski. Cakupan kebijakan ini terlihat luas, menjangkau berbagai jenis aktivitas fisik yang diminati oleh masyarakat.
Daftar lengkap fasilitas olahraga yang turut dikenakan pajak mencakup tempat kebugaran (termasuk yoga, pilates, dan zumba), lapangan futsal/sepak bola, kolam renang, lapangan bulutangkis, lapangan basket, serta tempat panjat tebing dan sasana bela diri.
Reaksi dari Pengelola Fasilitas Olahraga
Kebijakan pajak baru ini memunculkan reaksi beragam di kalangan pengelola fasilitas olahraga di Jakarta. Beberapa dari mereka merasa bahwa kebijakan ini dapat memberatkan operasional, sementara yang lain menilai ini merupakan langkah yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Seorang pengelola mengungkapkan, ‘Kami harus menyesuaikan dengan aturan ini untuk tetap bisa beroperasi dan memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.’ Pernyataan ini mencerminkan tantangan yang dihadapi pengelola dalam menerapkan kebijakan baru.
Di sisi lain, penerapan pajak hiburan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas fasilitas olahraga yang ada. Dengan adanya pajak yang dikumpulkan, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih optimal dalam merevitalisasi dan memperbaiki fasilitas olahraga yang tersedia.